Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Jabar, Roy Rovalino, menjelaskan bahwa penetapan tersangka dilakukan berdasarkan dua surat perintah penyidikan berbeda, yakni Print-66/M.2/Fd.1/08/2025 dan Print-3420/M.2/Fd.2/12/2025.
Keduanya disangkakan melanggar Pasal 2 dan 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 56 KUHP.
Roy menyebut penyidikan masih terus berjalan dan tidak menutup kemungkinan ada tersangka lain yang ikut terseret.
Awal Mula Modus Korupsi
Kasus ini bermula pada 2022 saat DPRD Kabupaten Bekasi mengajukan kenaikan tunjangan perumahan. Rahmat Atong lalu menunjuk Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Antonius untuk melakukan penilaian resmi berdasarkan Surat Perintah Kerja tertanggal 26 Januari 2022.
KJPP pun menetapkan besaran tunjangan sebagai berikut:
Ketua DPRD: Rp42,8 juta
Wakil Ketua: Rp30,35 juta
Anggota DPRD: Rp19,8 juta
Namun hasil resmi tersebut justru ditolak pimpinan dan anggota dewan.
Setelah penolakan itu, penentuan nilai tunjangan—khususnya untuk wakil ketua dan anggota—tidak lagi mengacu pada penilai publik, tetapi dihitung sendiri oleh unsur DPRD yang dipimpin Soleman.
Penetapan sepihak ini jelas bertentangan dengan PMK 101/PMK.01/2014, yang mewajibkan penggunaan penilai publik dalam penetapan nilai sewa rumah jabatan.
Kerugian Negara dan Penahanan
Perhitungan tunjangan yang tidak sesuai aturan itu menyebabkan kerugian negara mencapai Rp20 miliar.
Rahmat Atong telah ditahan di Rutan Kebonwaru Bandung selama 20 hari, terhitung 9 sampai 28 Desember 2025, berdasarkan perintah Han: PRINT-3421/M.2.5/Fd.2/12/2025.
Sementara itu, Soleman tidak ditahan karena tengah menjalani hukuman di Lapas Sukamiskin. Ia sebelumnya sudah menjadi terpidana kasus suap dan gratifikasi proyek pembangunan dengan vonis 2 tahun penjara.
Sumber : CNN Indonesia
Editor : Tia




Tidak ada komentar:
Posting Komentar