Harapan mereka sederhana: Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, datang langsung melihat kondisi mereka dan memperbaiki akses menuju sekolah.
Akses yang Semakin Sulit
Di Desa Pantai Bahagia, satu-satunya jalur darat menuju sekolah hanyalah jalan sempit selebar 2–2,5 meter yang berada di antara permukiman warga dan aliran Sungai Citarum. Di sisi belakang rumah penduduk, laut tanpa tanggul membuat kawasan ini tergenang hampir setiap minggu.
Banjir rob itu bukan hanya sekadar air masuk rumah. Air pasang merusak infrastuktur jalan—tanah merah berubah licin, bebatuan tajam bermunculan, lumpur menumpuk, hingga paving block yang pernah dipasang kini kembali hancur.
Kondisi ini membuat banyak pelajar memilih perjalanan air sebagai satu-satunya opsi.
Kisah Putri: Berangkat Sekolah Dijemput Speed Boat
Putri (14), siswi MTs Nurul Ihsan di Kampung Blukbuk, setiap jam 06.00 WIB sudah menunggu perahu penjemputan di depan rumahnya di Kampung Gobah. Speed boat yang ia gunakan merupakan bantuan dari perusahaan swasta.
“Butuh sekitar 30 menit ke sekolah. Jalan darat sebenarnya ada, tapi rusak banget. Mau jalan kaki susah, naik motor juga enggak nyaman,” ujarnya.
Baginya, perjalanan dengan perahu memiliki dua sisi. “Seru sih naik perahu, tapi kalau arus kencang suka takut juga,” katanya sambil berharap besar agar Gubernur Dedi Mulyadi memperhatikan kondisi mereka.
“Kang Dedi, tolong lihat langsung kondisi di sini. Jalanan pengin banget dibenerin.”
Faris: Sudah Terbiasa Dengan Ombak Tinggi
Faris (13) yang tinggal di Muara Bendera juga sepenuhnya bergantung pada perahu untuk berangkat ke sekolah yang sama. Ia tinggal di rumah panggung bersama ibunya yang sedang hamil dan ayah tirinya.
Perjalanan dengan speed boat memakan waktu 45 menit hingga satu jam. “Enggak takut, udah biasa. Tapi kalau hujan buru-buru ke perahu. Pernah ombaknya tinggi banget, ya takut sedikit,” kata Faris.
Ia pun berharap hal yang sama: jalan layak untuk anak-anak sekolah.
Tidak Semua Bisa Menumpang Perahu
Berbeda dengan Putri dan Faris, anak-anak di Kampung Beting tidak bisa memanfaatkan jalur air karena sungai terlalu sempit untuk dilalui perahu.
Mereka harus berjalan kaki sekitar 30 menit melewati jalan rusak dan berbatu. Syifa (14) mengaku iri melihat teman-temannya yang bisa naik perahu. Sementara Zaskia (15) mengatakan perjalanan makin berat saat hujan deras.
“Kalau hujan bisa 40 menit. Ada sekitar 10 orang yang jalan dari Kampung Beting,” kata Zaskia.
Dampak Serius pada Pendidikan
Menurut pengamat pendidikan, Ina Liem, kondisi perjalanan yang berbahaya ini menurunkan minat belajar.
“Motivasi, fokus, dan rasa aman anak pasti terganggu kalau tiap hari harus menempuh perjalanan ekstrem seperti ini,” ujarnya.
Ia menilai persoalan Muara Gembong adalah akumulasi problem besar yang sudah berlangsung puluhan tahun. Minimnya transparansi data, koordinasi antarlembaga, hingga lemahnya audit anggaran daerah membuat pembangunan tidak berjalan optimal.
Anak-anak pun menjadi korban, harus naik perahu kecil tanpa pelampung berbayar sementara beberapa sekolah swasta justru memiliki bantuan perahu gratis dari CSR.
“CSR itu bisa membantu, tapi tidak boleh menggantikan fungsi negara,” tegas Ina.
Sumber : kompascom
Editor : Tia




Tidak ada komentar:
Posting Komentar